“Semester depan,” kata saya, “uang sekolah sepertinya harus dibayar lunas di awal semester, Pak.”
Awal semester tinggal sepekan lagi, dan sepekan bisa terasa
lambat bisa cepat, dan biasanya terasa cepat jika berurusan dengan sesuatu yang
harus dibayar. Ayah tidak bicara, tetapi pada hari pertama kelas dua saya berangkat
sekolah membawa 90 ribu rupiah uang satu semester.
Harga mesin tik yang paling murah seratus sepuluh ribu dan
kelihatannya tidak bisa ditawar. “Saya kasih seratus lima,” kata Cina pemilik
toko. Saya katakan besok saya balik lagi, sekarang tidak bawa uang.
Saya kembali ke toko itu dua bulan kemudian dan pemiliknya
masih mau melepas mesin tiknya dengan harga seratus lima dan hari itu saya mendapatkan
Olympia Traveller de Luxe. Ia kecil dan terlihat ringkih dibandingkan mesin tik
Brother yang tampak berwibawa di meja kantor tata usaha. Saya agak khawatir ia akan
cepat rusak.
Dalam perjalanan pulang dari toko, pikiran saya sibuk
mencari-cari alasan dan menemukan satu yang agak panjang tapi cukup masuk akal:
Ini mesin tik teman saya; ayahnya punya dua dan dia meminjamkan yang ini untuk
saya. Mesin tik ini jarang dipakai. Tidak ada orang di rumahnya yang menyukai mesin
tik ini. Ayahnya lebih suka memakai mesin tik yang besar.
Ayah saya tidak menanyakan apa pun tentang mesin tik yang
saya bawa pulang.
Selanjutnya, saya perlu panduan cara mengetik. Ada dua buku
teknik mengetik sepuluh jari di toko buku dekat rumah dan saya tidak tahu mana
yang lebih bagus, maka saya beli dua-duanya, dan dua buku itu mengajarkan cara
yang sama.
Keduanya meminta saya menyalin surat-surat bisnis dan administrasi
kantor. Saya tidak suka. Saya mengetik ulang Lelaki Tua dan Laut, dengan
sepuluh jari yang bergerak terbata-bata, dan dua jari kelingking saya terlalu
lemah untuk menekan tuts-tuts yang menjadi bagiannya.
Akhirnya selesai juga pengetikan ulang. Jari-jari saya sudah
mengetik sebuah novel yang sama persis bagusnya dengan novel pemenang Pulitzer itu
dan ingin mengetik lagi. Telinga saya menjadi akrab dengan dentuman tuts yang
terdengar ritmis, kata demi kata, baris demi baris, dan latihan mengetik
berubah menjadi obsesi untuk menyalin.
Begitu selesai novel pertama, saya beralih ke Prajurit
Schweik, lalu Dataran Tortilla, lalu Frankenstein. Di
sela-sela mengetik empat novel itu, muncul pula salinan beberapa puisi—Rendra,
Darmanto Jatman, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad.
Saya senang mengetik, senang mendengar ketukan, senang
melihat kata-kata muncul rapi di atas kertas. Dan waktu berjalan cepat; ia menyeret
saya kembali ke kehidupan nyata: Ujian semester sudah dekat. Saya harus melunasi
uang sekolah satu semester dan tidak mungkin meminta lagi kepada ayah saya uang
satu semester.
Ketika memutuskan harus punya mesin tik dan mengelabui ayah
saya bahwa uang sekolah harus dilunasi semuanya di awal semester, saya berpikir
ada waktu enam bulan untuk mengumpulkan uang penggantinya. SMA 3 lunak dalam
urusan pembayaran uang bulanan. Kami tidak dikejar-kejar oleh tata usaha untuk melunasinya
tiap bulan; kami membayar uang sekolah di kantor pos besar di dekat Pasar Ya’ik.
Urusan kami dengan tata usaha hanya menunjukkan bukti, sebelum ujian semester, bahwa
kami sudah melunasi semua uang bulanan.
Dengan waktu yang tersedia, saya pikir saya bisa mencari
pekerjaan mengetikkan karya tulis teman-teman atau menawarkan jasa pengetikan
apa saja. Jika saya menyodorkan harga murah, semua pekerjaan mengetik pasti
saya dapatkan.
Itu rencana yang simpel, dan tidak bekerja sama sekali. Saya
terjerumus ke dalam kegembiraan menyalin novel-novel dan saya sekarat karena
waktu hampir habis. Hanya ada sebulan lebih sedikit, dan saya bertindak
serabutan, menawarkan harga murah, mencari banyak pekerjaan dalam waktu yang
tinggal sedikit, dan beres. Uang sekolah lunas dan saya berangkat ujian dengan
tenaga terkuras, tanpa persiapan, tetapi bahagia.
Dan saya mencintai Olympia. Saya mendapatkannya melalui
perjudian dengan uang sekolah empat puluh tahun lalu, yang bisa saja berakhir
buruk, tetapi saya cukup beruntung bahwa perjudian itu tidak berakhir
memalukan. Saya mendapatkan cukup banyak dari pekerjaan mengetik yang aneh dan
serabutan dan Olympia membantu saya melunasi “utang” saya tepat waktu.
No comments:
Post a Comment