SUJARWO SUMARSONO, dokter gigi 41 tahun, tiba di lobi gedung kesenian setengah jam sebelum konser piano dimulai. Ia menyelinap di antara gerumbul orang-orang dan dengung percakapan, menghindar dari orang-orang yang ia hanya kenal-kenal anjing, bersenggolan bahu dengan lelaki yang melangkah buru-buru di tengah orang ramai, kelihatannya ia panitia konser, dan berhenti di satu sudut ruangan yang dipenuhi poster. Ia sedang memandangi poster-poster itu ketika sebuah suara menyapanya, lembut dan sopan:
"Dokter Sujarwo?"
Ia menoleh ke kanan dan menemukan, tepat
di depan matanya, sebuah puisi: Seorang perempuan bergaun biru gelap, dengan helai-helai rambut kemerahan,
berdiri sedikit canggung
seolah menyesal bahwa ia baru saja melakukan perbuatan kurang pantas, tetapi
warna merah pada bibirnya dan harum parfumnya seperti minta diperhatikan.
Sujarwo tidak mengenalnya.
"Anda--"
"Tantri. Suami saya pasien
anda sejak tiga tahun lalu. Saya pernah mengantarnya ke klinik anda satu
kali."
Ia mencoba mengingat-ingat.
"Rasanya saya pernah mendengar
suara anda. Kita pernah bercakap-cakap?"
"Lewat telepon. Saya yang
selalu membuat janji untuk suami saya, namanya Ardian."
"Ah, ya, ya, saya beruntung
bisa bertemu langsung dengan pemilik suara."
"Dokter sendirian?"
"Saya pikir begitu, tetapi
rupanya takdir tidak membiarkan saya sendirian malam ini."
Tantri tersenyum dan buru-buru
menunduk. Ia terlihat mirip Santi pada saat tersenyum dan menunduk; semua
perempuan yang memikat selalu terlihat seperti Santi.
Malam itu mereka duduk
bersebelahan, dalam ruangan yang AC-nya terlalu dingin dan lampu-lampunya
dipadamkan dan cahaya hanya datang dari sorot lampu yang menerangi pianis di
panggung. Tangan mereka beberapa
kali bersentuhan dalam gerak seperti tidak sengaja dan hari-hari
selanjutnya mereka saling bertukar pesan. Sesekali mereka bertemu jika Tantri
bisa keluar rumah. Dan Sujarwo menjadi rajin becermin, menyisir rambut dengan jari-jari
tangan, menggumamkan lagu-lagu, dan tiga bulan kemudian merasakan siksaan yang
sudah sangat ia kenali: Ia ingin bertemu Tantri setiap hari dan Tantri
menyatakan “Sama, Sayangku,” tetapi perempuan itu tidak bisa keluar rumah
sewaktu-waktu. Ia seorang istri, dan ia seorang ibu.
Itu siksaan yang berulang-ulang ia alami, dimulai dengan Santi,
cinta pertamanya, mahasiswa sejarah yang tampak kebingungan ketika ia
menciumnya di lorong perpustakaan. Ia gagal memilikinya meskipun mereka bergandeng
tangan ke mana-mana dan gadis itu sudah tidak kebingungan lagi saat dicium, sebab
Santi ditangisi ibunya. Dayu Kamala tidak bisa menerima Sujarwo sebagai
menantu; ia tidak mau putrinya terlempar menjadi sudra.
Mereka bertemu lagi dua tahun
setelah Santi menikah. Ia ke Jakarta setelah lulus kuliah, Santi ke Jakarta mengikuti
suaminya, dan perempuan itu suatu hari mengirim pesan “apa kabar?” dan mereka
berjanji bertemu pada Rabu siang di toko buku. Santi tiba sore hari dan meminta
maaf karena baru bisa keluar rumah setelah pukul tiga. “Suamiku tidak ke kantor
hari ini,” katanya. “Ia harus ke luar kota dan baru berangkat tadi pukul tiga.”
Ia pernah mendengar bahwa bertemu
cinta pertama sama dengan pulang ke rumah yang dirindukan, dan itu betul. Di
tangga masuk toko buku sore itu, saat ia melihat Santi, seketika itu ia merasa pulang
ke rumah yang pintunya selalu terbuka untuk ia masuki. Dan sebetulnya ia tidak
hanya melihat rumah, ia juga melihat matahari terbit di tangga itu dan langit
kembali cerah setelah dua tahun kegelapan dan bunga-bunga bermekaran. Itu kali
pertama ia mencintai perempuan bersuami, dan ia menikmati.
O, Santi, Santi, Santi. Namanya terdengar
seperti mantra ketika diucapkan berulang-ulang dan ia sudah merasa mereka
cocok: Sujarwo-Santi atau Santi-Sujarwo. Duo S. Ia menikmati
percakapan-percakapan tentang buku dengan gadis itu, berbagi minat yang sama pada
musik dan sastra, dan menertawakan apa saja. Ia merasa itu kisah cinta yang
sempurna, dan ia tidak pernah memikirkan perempuan selain Santi. Pada
perjumpaan kedua, ia bahkan mendapatkan kebahagiaan yang lebih sempurna: Ia merasa
dirinya lelaki bermartabat ketika mendengar Santi menceritakan suaminya yang
kaku dan membosankan dan tidak pernah membaca novel.
“Kurasa itu yang membuat bunyi
dengkurnya keras sekali,” kata Santi.
“Betul,” katanya. “Orang yang tidak
baca novel pasti mendengkur keras sekali. Dari dulu memang begitu.”
Tetapi umur percintaan kedua ini
hanya empat bulan. Santi tidak menolak ketika si tukang dengkur membawanya ke
Peru, dan Sujarwo kehilangan rumah untuk pulang. Setelah itu, dalam setahun ia dua
kali berpacaran, dua-duanya dengan perempuan bersuami, mengulangi kegembiraan
dan kepedihan yang sama dengan yang ia alami dengan Santi.
Tantri perempuan kedelapan yang
menjadi kekasihnya. Ia sudah tahu bahwa setiap hubungan yang ia bangun adalah sia-sia
dan hanya memberinya rasa sakit yang berulang-ulang, tetapi ia telanjur
memiliki kecocokan batin dengan perempuan-perempuan bersuami. Ia suka menyimak para
perempuan itu menceritakan ketidakbahagiaan mereka dengan suami masing-masing.
Ia pernah dua kali mencoba dekat dengan gadis lajang, tetapi Nunik, adik dokter
gigi Santosa, dan Wina, perawat yang pernah bekerja di kliniknya, gadis yang
terdengar lembut ketika bicara tetapi selalu mengagetkan saat tertawa, tidak
memberinya kegembiraan yang ia dapatkan dari perempuan bersuami. Dengan para
istri yang tidak puas dalam pernikahan mereka, ia bisa menjadi lelaki yang
penuh perhatian dan pemberi kehangatan. Pendeknya, wujud kesempurnaan yang
mereka idamkan. Ia seperti tahu begitu saja bahwa para istri yang tidak bahagia
biasanya mendambakan telinga yang sabar untuk mendengarkan dan kepala yang
mengangguk -angguk penuh perasaan untuk memahami kerumitan mereka.
Hujan deras dan angin kencang di luar, dan jalanan tergenang.
Hanya kanak-kanak yang sanggup menembus angin dan hujan dan menikmati genangan.
Tawa mereka menyatu dengan suara angin dan hujan. Sujarwo memandangi mereka
dari balik kaca jendela, dengan kepahitan terus meningkat dan harapan nyaris
nol, dan suara Tantri di belakangnya membuat kepalanya berkabut.
“Jadi pulang lusa, Mas?” Telepon
genggamnya di telinga kanan. “Oya? Tidak apa-apa, lain kali saja. Yang penting
pesanan Aria sudah didapat. Sudah, sudah, aku sudah menelepon klinik. Ya, Rabu
malam pekan depan.”
Sujarwo meninggalkan jendela, menyeruput
secangkir teh dingin di meja, memperhatikan setiap detail rasa pahit yang
memenuhi mulutnya, duduk di depan pianonya, menumpahkan campur aduk perasaan
pada deretan putih hitam di hadapannya. Ini pelarian terakhirnya dari
kesia-siaan dan hubungan yang semakin terasa menyiksa.
Tantri menjauh sambil terus bicara,
menghindari suara piano yang menghentak-hentak, dan beberapa waktu kemudian
Sujarwo merasakan tubuh perempuan itu di punggungnya, dan dua lengan halus melingkari
lehernya.
“Kamu marah aku menerima
teleponnya?”
Ia terus memainkan pianonya. Tantri
melingkarkan lengannya makin kuat.
“Kamu marah?” Tantri mengulangi.
Ia menyudahi permainannya;
tangannya mencoba melepaskan lengan Tantri yang melingkari lehernya. Tantri
mengetatkan pelukan.
“Kurasa sudah waktunya kita menyudahi
ini,” kata Sujarwo.
“Aku mau berlanjut.”
“Aku juga, tapi bagaimanapun kita harus
mempertimbangkan konsekuensinya.”
“Konsekuensi? Setelah sembilan
bulan kita menjalaninya?”
“Kamu punya suami—”
“Ya, dan kamu sudah tahu itu sejak
awal.”
“Kita tidak bisa terus bermain api.”
“Kamu pasti marah karena aku
menerima telepon dia, kan?”
“Tidak.”
“Jadi? Kamu mau menyudahi begitu
saja?”
“Demi kebaikan kita bersama.”
“Aku cuma memerlukan kebaikan
seperti ini, memelukmu begini semalaman.”
“Tantri, dengar. Ini demi kebaikan
kita bersama.”
“Menurutmu rumah tanggaku dengan
dia itu kebaikan bersama?”
Anna masuk menyodorkan berkas dan memberi tahu bahwa pasien
terakhir akan tiba pukul setengah sepuluh. Sujarwo berhenti menulis dan mengatakan
kepada perawat kliniknya itu bahwa ia boleh pulang begitu pasien datang. “Cuma
kontrol rutin,” katanya. “Tidak apa-apa aku sendirian.”
Ia melanjutkan menulis ketika Anna
meninggalkan ruangan.
"Tantri, aku harus membuat keputusan
yang tak pernah ada dalam pikiranku. Ini bukan hanya tentang diriku, tetapi
juga tentang tanggung jawabku sebagai dokter gigi. Aku harus menyampaikan ini
kepadamu, dengan berat hati, dan kita harus menemukan jalan keluar dari situasi
ini. Maafkan aku, tetapi aku tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi
kita.”
Ia membaca surat pendek itu
berulang-ulang. Terdengar seperti pernyataan seorang pengecut. Tanggung jawab
sebagai dokter gigi? Apa maksudnya? Itu kalimat terburuk yang pernah ia baca. Dengan
perasaan benci kepada dirinya sendiri, Sujarwo merobek surat itu dan membuang
robekan kecil-kecilnya ke tempat sampah dan kemudian membaca berkas pasien yang
barusan diberikan kepadanya oleh Anna.
Pukul setengah sepuluh. Beberapa
menit kemudian pintu ruangan terbuka pelahan dan Ardian, pasien terakhir hari
itu, memasuki ruangan. Ia terlihat besar dan bodoh di mata Sujarwo.
“Sehat, Pak Ardian?”
“Sehat, Dok, sangat sehat. Cuma
saya merasa takut malam ini.”
“Anda sudah berulang kali kemari.”
“Entahlah. Muncul begitu saja. Dokter
tahu istri saya?”
“Ya, dia yang selalu membuatkan
janji untuk anda.”
“Betul.”
“Kenapa, Pak Ardian?”
Ia merasa suaranya sedikit bergetar
ketika menanyakan kenapa.
“Dia terlihat pucat ketika saya
berangkat kemari, seolah-olah saya akan mati karena perawatan gigi.”
Ini kunjungan pertama Ardian sejak ia
dekat dengan Tantri. Apa maksud dia menceritakan istrinya? Ia tidak pernah
banyak bicara sebelumnya. Sujarwo merasakan kecemasan yang merambat pelan-pelan
dan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba tetap tenang, tetapi di
kepalanya muncul begitu saja hal-hal buruk. Mungkin lelaki itu mengetahui
beberapa hal tentang hubungan mereka, mungkin ia mencium sesuatu yang tidak
beres dengan istrinya, mungkin ada orang melihat ia bersama Tantri; pikirannya
terus menerka-nerka apa yang mungkin diketahui oleh suami Tantri.
Lelaki itu merebahkan dirinya di kursi
perawatan. Sujarwo memakai masker dan sarung tangan, dan merasakan tekanan yang
makin berat ketika lelaki itu tiba-tiba berkata:
“Apakah pernah ada kasus pasien
mati karena perawatan gigi, Dok?”
Kepalanya rusuh dan jantungnya
berdegup makin kuat. Ia memeriksa mulut Ardian dengan telinga yang terus-menerus
mendengar ucapan Tantri: Menurutmu rumah tanggaku dengan dia itu kebaikan
bersama?
Ia menguatkan diri. Lelaki bodoh
ini ada di tangannya sekarang, seperti burung kecil di tangan kanak-kanak: Ia
bisa mencekik mati burung itu, ia bisa melepaskannya terbang.
Ponsel di sakunya bergetar. Pesan
dari Tantri: “Aku mencintaimu, Sayangku. Apa pun keputusanmu, aku hanya ingin
bersamamu."
Waktu terasa berhenti.
Ia mengusap pelipisnya yang basah
oleh keringat dingin ketika Ardian meninggalkan ruangannya. Matanya tertuju
pada cincin pernikahan di jari manis Ardian. Ia benci melihat itu. Lelaki itu pasti
hanya ingin dilihat orang sebagai suami setia dengan terus memakai cincin itu.
Ia tidak yakin si bodoh itu lelaki setia; cincin itu terus di sana hanya karena
jari-jarinya menggembung dan cincin itu menjadi kekecilan dan tidak bisa
dilepas.
“Aku membencinya karena ia
menghalangi kita, Tantri. Tetapi ia tak pernah melepaskan cincin dari jari
manisnya. Aku menghormati itu. Kuharap kamu menghormatinya juga.”
Ia merasa begitu pedih saat mengirimkan
pesan itu. Kenyataan pahit. Seperti laut dalam yang tak terjamah cahaya, kenyataan
pahit menenggelamkannya sekali lagi dalam gelap dan kosong. Ia memerlukan cahaya;
ia memerlukan udara.
Air sungai mengalir tenang di bawahnya dan burung-burung
beterbangan di langit dan angin sore memberinya perasaan tenteram. Dari pagar
jembatan, Sujarwo menarik senar kailnya dan seekor ikan kecil menggelepar-gelepar
tersangkut pada mata kail. Ikan terakhir. Warna langit sudah menua dan, setelah
melepaskan ikan dari mata kail, ia membereskan peralatan memancingnya.
“Dapat banyak, Dokter?”
Ia mengangkat kepalanya dan melihat
seorang perempuan dengan kaus putih dan jins biru berdiri di hadapannya.
Rambutnya sebahu, dan helai-helai rambut itu seperti melambai kepadanya ketika
angin bertiup agak kencang, dan matanya biru. Cantik, seperti Santi.
Sujarwo mengingat-ingat siapa di
antara kenalannya yang mengenakan lensa kontak biru.
“Anda—”
“Maulina. Bulan lalu saya ke klinik
anda.”
Ia ingat sekarang. Maulina datang ke
klinik diantarkan suaminya, lelaki kecil yang terlihat kikuk dan bodoh dan ikat
pinggangnya hampir setinggi dada.
“Apa yang membawa anda kemari?”
“Coba Dokter tebak.”
“Tempat ini tenang, bagus untuk
melupakan kekeruhan. Jadi, saya pikir… Anda juga sedang ingin melupakan sesuatu?”
“Rumah saya di dekat sini.”
“O, saya salah menebak.”
“Tidak sepenuhnya.”
Maulina pamit. Sujarwo memandangi
perempuan itu berjalan menjauh. Ia menarik napas panjang: Bahkan dari belakang pun
perempuan itu mirip Santi.[]