Jurnal A.S. Laksana


Mariam

SUDAH tengah malam dan ia sudah merebahkan tubuh dua jam dan sudah berulang-ulang mengingatkan dirinya sendiri. Hentikan, Mariam. Hentikan. Kamu akan kehilangan dia jika kamu tidak menghentikannya. Goen lelaki baik, karena itu hentikan saja. Kamu akan membunuhnya jika kamu menuruti perasaanmu dan membiarkan dia mendekatimu. Kamu sudah membunuh Daniel, tidak cukupkah itu?

Mariam bangkit dari tempat tidurnya, menyalakan lilin lavender, berharap aroma lilin itu bisa menenteramkan pikirannya. Lalu ia bergerak ke jendela, menyingkap gorden, menyandarkan kepala pada bingkai jendela. Bulan sabit mengapung di atas kontur hitam pepohonan dan atap-atap rumah di seberang sana; dan suara serangga; dan sesekali raungan mesin kendaraan, sayup-sayup, melintas di kejauhan.

Ia memutuskan pindah ke tempat di lereng pebukitan ini, di daerah barat daya kota, setelah Daniel pergi; bukan pergi sebetulnya, tetapi direnggut. Mereka bertengkar kecil malam itu. Ia kalut ketika Daniel mengatakan tidak bisa ke Jogja besok karena harus berangkat ke Surabaya.

“Kita sudah sebulan merencanakan ini,” katanya. “Kamu mengacaukan semuanya."

“Mereka, Mariam, bukan aku,” kata Daniel. “Mereka memajukan jadwal pertemuan.”

“Kenapa kamu setuju?”

“Aku tak bisa menolaknya. Aku yang punya kepentingan dengan pertemuan itu. Aku yang menawarkan program kepada mereka dan meminta waktu bertemu.”

“Kamu harusnya memberi tahu mereka bahwa kamu juga punya urusan. Kita punya urusan.”

“Baiklah, aku minta maaf karena sudah mengacaukan rencana, tapi ini penting sekali buatku.”

“Oke, kamu berangkat saja. Jangan pedulikan omonganku. Aku tidak penting buatmu.”

Suaranya tiba-tiba meninggi, seperti jerit yang muncul dari frustrasi. Ia betul-betul kalut. Ia ingin berteriak kuat-kuat kamu mati jika kamu besok pergi ke Surabaya, Daniel, aku tidak mau kamu mati, tetapi mulutnya tak sanggup mengucapkan kalimat seperti itu, dan itu kebodohan yang ia tangisi selamanya. Seharusnya ia mengatakan terus terang, tidak peduli bagaimana Daniel akan menanggapinya. Ia melihat sesuatu yang buruk akan menimpa lelaki itu pada Sabtu pertama Februari dan Surabaya ada dalam penglihatannya. Karena itulah ia jauh-jauh hari merancang perjalanan ke Jogja, merencanakan berdua di tempat mana saja mereka akan singgah sepanjang perjalanan; ia harus mencegah Daniel ke Surabaya pada hari itu.

“Kita tetap ke Jogja, Mariam. Hanya bertukar waktu. Kita bisa berangkat Sabtu pekan depan, atau jika kamu pingin secepatnya, kita berangkat Selasa nanti begitu aku pulang dari Surabaya.”

Seharusnya ia membuat keributan, mengamuk segila-gilanya, atau bertingkah seburuk-buruknya yang bisa memaksa Daniel tidak berangkat. Ia benci kenapa tak sanggup melakukannya. Belum satu tahun mereka menikah, dan ia sangat mencintai Daniel, dan Daniel sangat mencintainya. Dan ia melemah.

“Aku takut, Dan.”

“Hai, aku akan baik-baik saja. Janganlah memelihara kegelapan.”

Bau tubuh lelaki itu samar-samar menyusup ke rongga hidungnya; ia menyukainya, seperti ia menyukai aroma hutan. Ia tidak terlalu mengenal hutan, tentu saja, ia lahir dan tumbuh di Semarang; ia lebih mengenal banjir. Hanya satu kali ia masuk hutan ketika mengikuti rombongan anak-anak fakultas kehutanan selama seminggu di Bali Barat. Daniel ada dalam rombongan itu, tetapi bukan pada saat itu ia mulai menyukainya.

“Kamu siapkan saja resep favoritmu. Aku akan pulang dengan bandeng asap sebanyak-banyaknya.”

Ujung jari Daniel menyentuh dagunya dan mengangkatnya pelan-pelan. Ia memandangi lelaki itu, memandangi alis matanya yang lebat, dan menggigil ketika melihat matanya. Ia tidak melihat mata, ia seperti hanya menemukan dua ceruk kosong di wajah itu. Dan ia mengulangi rintihannya:

“Aku takut, Dan.”

Lelaki itu mencium rambutnya, menekankan bibirnya kuat-kuat pada ubun-ubunnya, dan pergi keesokan harinya, dan pulang pada Selasa sore sebagai jenazah. Mariam menangis seperti neneknya menangisi kepergian kakek. Kakek dan neneknya juga sedikit ribut sehari sebelumnya, seperti ia dan Daniel ribut.

“Kakek kalian keras kepala,” kata nenek.

Mereka di meja makan malam itu; ayah dan ibunya mengajak ia dan adik lelakinya ke rumah nenek, memberi kejutan kepada perempuan yang hari itu berusia 69.

“Jangan diingat-ingat terus yang sudah tidak ada,” kata ayahnya. “Nanti ibu nangis lagi.”

“Memang ia keras kepala, persis kamu.”

Neneknya terus bercerita dan, benar yang dikatakan ayahnya, memang beberapa kali perempuan itu menyeka matanya yang basah dengan telapak tangan. Besok paginya Mariam masih melihat satu kali lagi air mata mengalir pelan-pelan dari kedua sudut mata neneknya saat mereka bercakap-cakap berdua di beranda belakang, menghadap ke tanah pekarangan tempat ayam-ayam berkeliaran dan mematuk tanah yang mereka cakar-cakar.

“Waktuku tinggal setahun lagi,” kata neneknya. Tangan tuanya meraba liontin di dadanya. “Tahun depan kamu yang merawatnya. Masih ingat dulu kamu menanyakan kalung ini?”

Peristiwa itu sudah lama sekali; mungkin ia belum enam tahun waktu itu dan belum masuk sekolah. Kakek dan nenek sangat menyayanginya, mungkin karena ia cucu pertama. Ayahnya anak kedua dari tiga bersaudara dan satu-satunya anak lelaki; anak pertama perempuan, tidak pernah menikah sampai sekarang, dan anak ketiga sudah menikah pada waktu itu tetapi belum punya anak.

Mariam ingat ia menyentuh kalung itu dan neneknya mengatakan sesuatu, ia sudah lupa persisnya, tetapi kurang lebih kalung itu nanti akan melingkar di lehernya. Pemiliknya sudah menunjuk kamu, kata neneknya.

“Kukira ini kalung Nenek,” katanya. “Jadi siapa pemiliknya?”

“Kalau sudah waktunya nanti kuberi tahu,” kata nenek.

Pada ulang tahun ketujuh puluh, perempuan itu mengumpulkan ketiga anaknya dan dua menantu dan semua cucu, dan hari itu, dalam kesempatan duduk berdua, Mariam menerima kalung dengan liontin bergambar rajah itu dari neneknya. “Bukan aku yang memilih kamu, Mariam. Kalung ini sendiri yang memilihmu.”

Neneknya tidak memberi tahu siapa pemilik kalung itu, dan Mariam juga tidak menanyakannya. Sekarang kalung itu sudah sebelas tahun melingkar di lehernya sejak ia menerimanya pada umur dua puluh satu. Liontin dengan rajah itu membuatnya peka terhadap isyarat-isyarat yang datang kepadanya dalam bentuk apa pun, kadang mimpi, atau gerak tumbuhan oleh tiupan angin, atau perasaan tertentu yang muncul saat ia berbicara dengan seseorang, atau apa saja yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, dan ia telah menyelamatkan beberapa orang dari kemungkinan buruk yang menghadang mereka di depan sana, sebagaimana neneknya memberi tahu orang-orang yang datang kepadanya dan menghindarkan mereka dari malapetaka yang akan menimpa mereka.

Semuanya terjadi begitu saja. Ia pernah tiba-tiba meminta Tiwi menemaninya ke Temanggung untuk penelitian petani tembakau ketika teman kuliahnya itu sudah telanjur membeli tiket bus untuk pulang ke Jember. “Nanti kubelikan tiket gantinya,” katanya. Ia harus sedikit memaksa sampai Tiwi akhirnya mau menemaninya penelitian dua hari, dan gadis itu memeluknya kuat-kuat pada malam sepulang mereka dari Temanggung. Pukul tujuh mereka berpisah di terminal dan pulang ke tempat kos masing-masing, dan pukul sepuluh Tiwi mengetuk pintu kamar kosnya.

“Ibuku menelepon barusan dan menangis. Hari itu, ketika kita berangkat, ia melihat berita bus itu kecelakaan, bus yang seharusnya kutumpangi.”

“Ia mengira kamu di dalam bus itu?”

“Aku sudah mengabarinya tidak jadi pulang hari itu. Mungkin ia ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.  Ia meneleponku berkali-kali, katanya, dan hapeku tidak bisa dihubungi. Mungkin kita sedang dalam perjalanan, dan memang di tempat penelitian itu sinyal hapeku lemah sekali. Baru sejam lalu ia berhasil meneleponku, dan ia langsung menangis begitu aku bilang, ‘Halo, Buk.’”

Ia ingat ia memandangi Tiwi dengan mata berkaca-kaca. Seandainya ia tidak memaksa temannya itu ikut penelitian…. Mata mereka sama-sama basah, dan ia merasakan seolah ada gelombang besar menyapu dirinya dan mengombang-ambingkannya dalam kegembiraan yang meluap-luap. Ia telah menyelamatkan Tiwi; ia akan seperti neneknya, mampu membantu orang-orang lain, melihat hal-hal buruk yang menghadang mereka, dan melakukan sesuatu untuk menghindarkan mereka dari malapetaka.

Beberapa waktu setelah itu ia mengingatkan Broto agar mundur dari proyek ke Lombok, meminta Haryati membatalkan acaranya, meminta Sari dan beberapa teman lain menunda atau jangan melakukan sesuatu pada hari yang sudah mereka tetapkan, sepenting apa pun itu bagi mereka. Semua itu memberinya perasaan bahwa ia berguna bagi orang lain, dan itu membuatnya bahagia.

“Aku melakukannya, Nek,” katanya ketika ia mengunjungi neneknya. “Aku menyelamatkan teman-temanku seperti Nenek menyelamatkan orang-orang.”

“Kamu bahagia?” tanya neneknya.

“Ya.”

“Mudah-mudahan kamu selalu bahagia.” Neneknya menarik napas dalam-dalam, dan melanjutkan bicara setelah menghembuskan napas panjang. “Sebetulnya aku tidak berharap kamu atau siapa pun di antara keluarga kita mewarisi kalung itu.”

“Kalau Nenek masih ingin merawatnya—”

“Bukan begitu. Aku tidak menginginkan kembali kalung itu. Waktuku sudah berakhir, dan ia memilihmu. Tapi jika kamu tidak menginginkannya, mungkin aku bisa melakukan sesuatu untuk membebaskanmu dari kalung itu.”

Ia sudah beberapa kali melihat neneknya menangis, tetapi baru kali itu ia melihat neneknya gelisah. Duduk di sofa tuanya, sofa dengan kain bunga-bunga yang Mariam kenali sejak kecil, neneknya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang sulit disampaikan. Tangannya di atas pangkuan.

Udara di ruang tamu terasa lebih berat setelah itu, dan Mariam menyesap tehnya, dan aroma teh yang biasanya menenteramkan kini tidak memiliki pengaruh apa pun.

“Sepertinya ada yang Nenek khawatirkan.”

“Aku tidak mau kamu seperti aku. Aku membantu orang-orang, tetapi tidak bisa menyelamatkan suamiku sendiri. Itu menyakitkan. Dan bukan itu saja, aku bahkan tidak berhasil membantu anakku sendiri menemukan jodohnya. Aku membantu orang-orang menemukan jodoh, tapi kamu sendiri melihat Bude Ririn sampai sekarang tidak menikah.”

“Aku akan baik-baik saja, Nek.”

“Semoga begitu. Aku hanya tidak mau kamu seperti aku.”

Ia baru menyadari, setelah kematian Daniel, kenapa neneknya terus mengulang-ulang kalimat itu. Ia sudah menjadi seperti neneknya, berhasil menyelamatkan orang-orang lain tetapi gagal menyelamatkan orang yang sangat ia cintai.

Angin pagi menerobos masuk dari jendela yang ia biarkan terbuka semalaman. Mariam terbangun oleh hawa dingin dan samar-samar ia melihat kain gorden bergerak-gerak oleh angin. Lalu dengan gerak malas ia raih ponselnya yang berdering. Goen, lelaki yang ia sambut kehadirannya delapan tahun setelah kematian Daniel. Ia biarkan dering itu mati sendiri, dan kemudian sebuah pesan masuk: “Baru selesai membaca buku Viktor Frankl tadi malam. Menarik sekali. Ia bilang, seburuk apa pun situasi kita, bahkan dalam situasi terburuk, berpikirlah tentang apa yang bisa kita lakukan untuk membantu orang lain. Jika kamu mau, kubawa buku itu ke tempatmu besok sore.”

Ia memandangi pesan di ponsel itu lama, dan ia membalasnya dengan dengung di kepala:

Terima kasih, Goen, aku pasti membaca buku itu nanti, tetapi aku harus menjauhimu. Kita harus saling menjauhi, sebab aku mencintaimu, dan aku seperti nenekku. Kami akan kehilangan orang-orang yang kami cintai. Terima kasih sudah membuatku bisa merasakan jatuh cinta lagi. Itu sebabnya kita harus saling menjauhi.

Dengan jari-jari yang gemetar ia menghapus nama itu dari daftar kontak, dan memblokir nomer itu, dan ia tidak ingin menangis, tetapi ia menangis. Air matanya mengalir pelan-pelan membasahi bantal.[]