Jurnal A.S. Laksana


Seratus Empat Lingkaran


IA keras kepala dan menjengkelkan dan kami sering berdebat untuk hal-hal remeh, sebab ia suka mencampuri urusanku. Ia mengatakan bahwa kursi-kursi ruang tamu sebaiknya diubah tata letaknya setiap tiga bulan agar selalu ada suasana baru. Sofa untuk tidur-tiduran siang hari lebih baik membujur ke utara. Lukisan perahu di ruang tamu harus dipindahkan ke dinding utara, tidak cocok di dinding timur. Dan, sehari setelah menyuruhku memindahkan lukisan, ia datang lagi membawa palu, paku, dan catut. “Ini bukan rumahmu,” kataku. “Biarkan lukisan itu tetap di situ.”

Suaraku meninggi. Tiga hari ia tidak datang ke rumahku setelah suaraku meninggi. Kaki-kakinya tampak berat saat ia melangkah meninggalkan ruang tamu siang itu dan mulutnya menggerutu dan geraknya terlihat ragu-ragu. Kulihat ia seperti ingin menoleh ketika berada di ambang pintu, tetapi akhirnya ia pergi tanpa menoleh.

Aku merasa tenteram selama tiga hari tanpa kedatangannya, seolah-olah itu sepanjang hidup, dan aku tahu persis ia tidak datang tiga hari sebab setiap hendak tidur aku melingkari angka-angka di kalender dengan spidol merah, dan ia datang pada petang hari sebelum aku membuat lingkaran keempat. Ada ketukan di pintu depan dan aku membukanya dan kami saling berhadapan di ambang pintu. Ini satu hal lain yang menjengkelkan tentangnya: Ia membuatku kikuk setiap kali kami saling berhadapan. Aku merasa kulitku menghangat malam itu dan aku menunduk menyembunyikan wajah; aku khawatir pipiku memerah dan aku tidak mau ia melihat pipiku memerah.

“Buat apa ini? Aku tidak batuk,” kataku.

Ia sering membawa apa-apa yang tidak kubutuhkan. Kuminta ia membawa kembali obat batuk yang dibawanya, tetapi ia berkeras menaruhnya di kotak obat di dinding ruang makan.

“Sekarang tidak,” katanya, “tapi nanti kamu akan batuk lagi.”

Lalu ia duduk dengan sikap rapi di kursi ruang tamu dan mengambil satu edisi koran lawas dari tumpukan di bawah meja dan membuat topi dari kertas koran itu dan meletakkannya di kepalaku. Lalu ia membuat satu lagi untuk kepalanya sendiri.

“Kita memerlukan topi untuk duduk-duduk di sana,” katanya.

Kami duduk-duduk di gubuk kecil di pelataran rumah. Almarhum yang membuat gubuk itu, katanya untuk menikmati masa-masa berdua lagi seperti ketika kami pacaran dulu. Namun kami tak sampai setahun menikmati gubuk itu berdua. Dia mengatakan tidak enak badan pada suatu petang ketika kami sedang duduk-duduk di gubuk—mungkin masuk angin, katanya—lalu dia merebahkan kepalanya di pangkuanku dan tidak pernah bangun lagi. Dua anak perempuan kami sudah berkeluarga dan masing-masing mengikuti suaminya—satu ke Sulawesi dan satu lagi ke Lombok—dan anak bungsu kami, satu-satunya lelaki, sekarang di Ruteng dan sudah berkeluarga juga. Mereka bergantian mengunjungiku tiap bulan. Begitulah, anak-anak memang suka berlebihan, sepertinya mereka khawatir aku tidak mampu mengurus diri: tidak bisa makan sendiri, tidak mandi berhari-hari, dan harus dipaksa makan sayur dan buah-buahan seperti mereka pada masa kanak-kanak. Tentu aku tidak segesit dulu dan sekarang agak sulit mengingat-ingat sesuatu, tetapi mereka tidak perlu berlebihan.

“Ada Sumi, kalian tidak usah khawatir,” kataku ketika mereka datang bersamaan dan memintaku ikut salah satu dari mereka. Laila, anak keduaku, paling rewel dan paling ngotot ingin membawaku ke Lombok. Aku tidak bisa meninggalkan almarhum sendirian tanpa ada yang mengunjunginya, kataku.

 

Ia bicara tentang dongeng-dongeng masa kecil; ingatannya masih baik untuk menceritakan kembali burung bulbul dan penyihir dari utara dan sepasang kekasih yang berubah menjadi kupu-kupu. “Ayahku memberi hadiah ulang tahun buku dongeng HC Andersen ketika umurku lima,” katanya, “dan ia membacakan satu dongeng tiap malam menjelang tidur. Aku paling suka Gadis Gembala dan Penyapu Cerobong.” Sejak itu ia menyukai dongeng dan bermimpi menjadi penulis dongeng dan belum pernah menulis satu pun.

“Sekarang tidak kuat lagi duduk lama-lama,” katanya.

“Berarti tidak akan pernah menulis?” kataku.

“Masih kepingin, tapi entahlah.”

“Ya, itu artinya tidak akan pernah menulis.”

“Entahlah.”

Tiga batang palem di tepi pagar, menghitam oleh cahaya malam, menari-nari oleh tiupan angin. Almarhum menanam tiga palem itu bertahun-tahun lalu. Kami pernah berdua ke Malang ketika masih berpacaran dan ia terpesona pada jajaran palem di sepanjang Jalan Ijen Besar dan kami kemudian menikah dan ia menanam sebatang palem ketika anak pertama kami lahir, lalu sebatang lagi untuk anak kedua, lalu sebatang lagi untuk anak ketiga.

“Seperti bayangan hantu,” katanya.

“Apa?” tanyaku.

“Palem-palem itu.”

“Mereka seperti penari.”

“Aku membayangkannya seperti hantu.”

Ia betul-betul sialan. Ia mengacaukan ingatanku tentang almarhum dan ketiga palemnya dengan bayangan tentang hantu-hantu. Dan selanjutnya ia bicara tentang hantu. Ia bilang ada teman masa kecilnya yang dipindahkan ke keranda oleh jin ketika tertidur di musala dan air liurnya mengalir membasahi karpet musala. Hantu-hantu zaman dulu memang suka begitu, kataku, ada temanku yang disembunyikan di dahan pohon mangga dan baru ditemukan setelah orang-orang kampung memukul kentongan, panci, piring, dan apa saja yang bisa ditabuh.

“Kamu pernah melihat hantu?” tanyanya.

“Pernah,” kataku. “Pada waktu kecil di belakang rumah kakek. Matanya besar dan kepalanya bertanduk.”

“Itu bukan hantu. Itu setan.”

“Sama saja.”

“Beda. Hantu dan setan beda.”

Jika tidak merasa kasihan kepadanya, sudah kusuruh pulang ia. Ia tidak mau kalah, persis kanak-kanak. Itu juga yang membuat kami sering ribut untuk masalah apa pun. Dan masih ada lagi. Ia suka mengatur. Pernah ia tiba-tiba ada di dapur pada waktu aku sedang memasak dan mengatakan caraku menumis bumbu keliru. Tomat harus dimasukkan ke wajan lebih dulu, katanya, terpisah dari bawang merah dan bawah putih dan bumbu-bumbu lain. Aku memasukkan semua bumbu bersama-sama.

“Apa bedanya?”

“Tentu saja beda. Kuntilanak, pocong, suster ngesot, mereka itu hantu, dan mereka tidak bertanduk. Mana ada suster ngesot bertanduk.”

Aku memutuskan diam saja. Tidak ada gunanya meladeni kanak-kanak. Ia masih terus mengoceh soal tanduk. O, silakan. Silakan mengoceh sesukamu, kataku dalam hati. Dan ia memang mengoceh tentang apa saja. Sepertinya ia akan menyampaikan apa pun yang terlintas di kepalanya. Dari urusan tanduk, ia beralih tiba-tiba ke Iskandar Zulkarnain.

“Nah, dia lelaki pemilik dua tanduk,” katanya.

Dia mulai sembarangan. Tidak bisa dibiarkan.

“Ngaco!” kataku.

“Memang begitu arti namanya.”

“Artinya Iskandar yang agung.”

“Pemilik dua tanduk.”

Betul-betul seperti bocah dia. Aku sudah berjanji tidak mau meladeninya, hanya saja ia sering membuatku tak sabar, dan aku harus mengulangi janjiku kepada diri sendiri untuk tidak akan meladeninya lagi, apa pun omongannya. Hujan tiba-tiba turun deras ketika ia mulai menjelaskan arti nama Iskandar bertanduk. Lalu petir. Kurasa langit marah karena ia bicara sembarangan.

Angin membawa butir-butir air hujan ke wajah dan tubuh kami. Lantai gubuk basah. Kami basah. Ia turun lebih dulu, tangan kirinya memegang topi kertas di kepalanya, tangan kanannya memegangi tangan kiriku saat aku turun dari gubuk, dan ia menuntunku berjalan cepat menuju rumah. Satu tangan kami masing-masing memegangi topi kertas yang menjadi basah kuyup ketika kami tiba di beranda.

Ia menyelonong masuk rumah begitu melepaskan genggamannya pada tanganku. Air menetes-netes di lantai dari pakaiannya yang basah kuyup. Ia menuju dapur, aku mengikutinya, dan di depan wastafel ia merunduk dan kemudian, dengan gerak yang amat sulit, ia berlindung di bawah wastafel.

“Kemarilah,” katanya.

Aku mengikutinya. Kami berhimpitan di bawah wastafel dan ia terkekeh-kekeh. Ini latihan berlindung jika nanti terjadi gempa, katanya.

Meskipun ia menjengkelkan, kadang-kadang ia menyenangkan juga, dan latihan berlindung di bawah wastafel itu selain menyenangkan juga berguna. Kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi gempa, tetapi kita perlu tahu apa yang harus dilakukan jika gempa terjadi. Air hujan membuat tubuhku dingin, tetapi kolong wastafel itu sempit dan kulit kami bersentuhan dan aku merasa sedikit hangat.

 

Kami bertemu kali pertama di antrean kasir supermarket. Aku cuma membeli obat batuk, tetapi antreannya panjang sekali. Ia di antrean kasir sebelah dan kami berdiri berdampingan.

“Lain kali anda perlu mencoba obat batuk lain,” katanya. Ia menyebutkan entah obat batuk apa, aku tidak peduli.

Tetapi aku menoleh ke arahnya. Ia tidak terlalu tinggi, hanya sedikit lebih tinggi dari aku. Tubuhnya agak gemuk dan batang-batang kakinya terlalu ramping untuk tubuh gemuknya dan ia tersenyum ketika wajah kami bertatapan. Wajahnya lucu, seperti burung kecil, dan senyumnya ramah. Aku tidak tersenyum. Di depannya seorang perempuan dengan sepatu tumit tinggi dan celana hitam ketat dan rok atas kulit macan. Kurasa ia sengaja mengantre di belakang perempuan itu; sepertinya ia mata keranjang.

“Dari dulu ini obat batuk saya,” kataku.

Ia mengatakan bahwa obat batuk hitam yang ia sarankan tadi adalah pilihan para artis.

“Widyawati dan Sophan Sophiaan yang mengiklankannya.”

Itu dua bintang film kesukaanku. Aku yakin aku sudah menonton semua film mereka dan tidak pernah kuingat mereka mengiklankan obat batuk hitam. Tapi aku merasa tidak enak mendebatnya.

“Itu cuma iklan,” kataku, “belum tentu mereka minum obat batuk itu.”

“Ah, ya! Bisa jadi begitu. Tapi saya tidak bohong. Saya sudah mencoba semua obat batuk dan hanya itu yang manjur.”

Kami bicara beberapa menit di antrean itu, dan ia bicara keras, dan aku agak malu ia bicara keras, tetapi nada bicaranya terdengar menyenangkan. Aku merasa seolah-olah kami sudah lama kenal.

Antreannya bergerak lebih cepat.

“Obat batuknya saya bawa saja,” katanya. “Saya cuma beli roti tawar dan selai. Anda tunggu di bangku sana.”

“Terima kasih,” kataku. “Tapi tidak apa-apa saya antre saja.”

Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berbisik dengan suara yang masih tetap terdengar keras: “Lihat tiga orang di depan itu, belanjaan mereka banyak sekali.” Aku menyerahkan obat batuk kepadanya dan keluar dari antrean dan duduk di bangku yang ia tunjukkan.

Beberapa hari setelah itu, pada Sabtu sore, ia menelepon dan mengatakan ingin main ke rumahku pada Minggu siang. “Silakan,” kataku. “Saya berencana memasak rawon. Jika anda suka, anda makan siang di rumah saya saja.” Itu jawaban yang keliru. Seharusnya aku tidak mempersilakan, dan tidak perlu juga bicara tentang rawon dan makan siang. Seharusnya kami tidak usah bertukar nomor telepon.

Malam itu cermin di kamarku berkhianat: Ia memperlihatkan bagian-bagian tubuhku yang melar di sana-sini, terutama perut, dan gelambir di dagu ini betul-betul tak bisa dimaafkan. Semua pakaian di lemari juga tiba-tiba tampak seperti tumpukan gombal yang rasanya tidak mungkin dipakai lagi. Seharusnya aku belajar berkata tidak, apalagi kepada lelaki yang baru kukenal, tetapi sudah telanjur.

Ah, anda seperti burung pipit, katanya, kuning dan mungil. Aku mengenakan gaun kuning dengan bunga-bunga jingga siang itu. Ia mengenakan jaket krem pudar yang dikenakannya di supermarket. Mungkin ia bermaksud mengatakan burung parkit. Almarhum menyebutku seperti parkit ketika melihatku bergaun kuning pada kali pertama kami berkencan.

Ia belum mengatakan apa-apa tentang dapur, cara menumis bumbu, cara merajang bawang merah agar tidak membuat matamu menangis. Ia juga belum mengatur-atur di dinding sebelah mana lukisan perahu harus ditempatkan. Ia belum mengotori lantai rumahku dengan pasir yang melekat di sepatunya sepulang kami dari pantai. Pada hari kami makan siang itu ia masih sopan dan pendiam seperti siswa baru. Tingkahnya baru menjengkelkan beberapa bulan kemudian ketika ia mulai datang sembarang waktu ke rumahku dan tidak merasa perlu menelepon lebih dulu dan aku sudah tidak gugup lagi di depan cermin dan tidak peduli gaun apa yang harus kukenakan jika ia datang.

Semakin dekat kami, semakin menjengkelkan ia.

Sekarang aku merasa lega ia tidak ada lagi. Anak perempuannya datang dan membawanya pergi dan ia tidak sanggup menolak. Lelaki lemah. Ia tidak sekuat aku untuk bertahan dari bujukan anak-anak yang memintaku ikut mereka. Kami masih bertemu sehari sebelumnya. Ia menelepon siang hari dan menanyakan apakah aku memasak rawon. “Aku ingin makan rawon nanti malam, seperti pertama kali kita makan bersama,” katanya. Kami makan malam, dan ia tidak banyak bicara malam itu, dan ia bahkan tidak memberi tahu bahwa besok ia akan dibawa pergi oleh anak perempuannya.

Sudah seratus empat hari sekarang. Aku tahu persis sebab sebelum tidur aku melingkari angka-angka pada kalender dengan spidol merah, dimulai sejak tanggal ia pergi di bulan April, dan aku menomori lingkaran-lingkaran itu. Aku sudah bertekad akan terus melingkari angka-angka sebelum tidur. Aku ingin tahu apakah ia akan datang lagi atau tidak. Dan seandainya ia datang lagi, aku tidak akan memenuhi keinginannya jika ia minta rawon. Sampai ia merengek pun, aku tidak akan memenuhinya. Tidak ada masalah jika ia mengajakku berlindung di kolong wastafel, tetapi memasak rawon? Tidak sudi aku memasak untuk lelaki yang tidak sanggup bertahan dari ajakan putrinya.[]